BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum tentang ISPA
1. Pengertian ISPA
Istilah ISPA
merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut yaitu masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan penyakit. Saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ
Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah
infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan
dalam ISPA, kurang dari 14 hari. Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5 – 14
hari (Nurrijal, 2009).
Berdasarkan pengertian
di atas, maka
ISPA adalah proses
infeksi akut berlangsung selama
14 hari, yang
disebabkan oleh mikroorganisme dan
menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai
dari hidung (saluran atas) hingga
alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura(Nurrijal,
2009).
Program Pemberantasan
Penyakit (P2) ISPA
membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia
tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, pharingitis, tonsilitis dan penyakit jalan
napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Pharingitis oleh
kuman Streptococcus jarangditemukan pada balita (Depkes, 2008).
2. Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis
penyakit ISPA dimulai
dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus
sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas
bergerak ke atas
mendorong virus ke
arah pharing atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring.
Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan
lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada
kedua lapisan tersebut
menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan stuktur lapisan
dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga
terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi noramal. Rangsangan cairan
yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk
(Rech,2009).
Adanya infeksi
virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi
virus tersebut terjadi
kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasanatas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang
mukosa yang rusak tersebut (Rech,2009).
Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak nafas
dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah
dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan
dan malnutrisi. Suatu
laporan penelitian menyebutkan
bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Rech,2009).
Dampak infeksi
sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas
bawah, sehingga
bakteri-bakteri yang biasanya
hanya ditemukan dalam
saluran pernafasan atas, sesudah
terjadinya infeksi virus,
dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Rech,2009).
Penanganan penyakit
saluran pernafasan pada
anak harus diperhatikan
aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di
saluran nafas yang sebagian besar terdiri
dari mukosa, tidak
sama dengan sistem
imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran
nafas yang terdiri
dari folikel dan
jaringan limfoid yang tersebar,
merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada
saluran nafas atas sedangkan IgG
pada saluran nafas bawah.
Diketahui pula bahwa
sekretori IgA (sIgA)
sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa
saluran nafas (Rech,2009).
Dari uraian diatas,
perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap patogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan
reaksi apa-apa
b. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk
c. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi
dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah
d. Tahap
dini penyakit, dimulai
dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk
e. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi
empat, yaitu dapat
sembuh sempurna, sembuh
dengan ateletaksis, menjadi
kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia (Rech,2009).
3. Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma,
jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas
umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan
ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA bagian
bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang
berat sehingga menimbulkan
beberapa masalah dalam penanganannya (Mennegethi,2009).
Bakteri penyebab
ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus,
Bordetella dan Corinebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain
adalah golongan Miksovirus,
Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan
lain-lain (Mennegethi,2009).
4 Faktor resiko ISPA
Faktor – faktor
yang berperan pada kejadian ISPA adalah sebagai berikut :
a. Faktor host ( diri )
1) Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering
mengenai anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang
dari 1 tahun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan
lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Hidayat, 2009).
2) Jenis Kelamin
Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia masalah
ini tidak terlalu
diperhatikan, namun banyak
penelitian yang menunjukkan
adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.Anak perempuan
lebih tinggi dari
laki – laki
di negara Denmark (Hidayat,2009).
3) Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori
Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua
keadaan ini sinergistik,
saling mempengaruhi, yang
satu merupakan predisposisi yang
lainnya. Pada KKP,
ketahanan tubuh menurun
dan virulensi pathogen lebih
kuat sehingga menyebabkan
keseimbangan yang terganggu
dan akan terjadi infeksi,
sedangkan salah satu
determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut
adalah status gizi anak (Hidayat,2009).
4) Status imunisasi
Ketidakpatuhan
imunisasi berhubungan dengan
peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai
dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa
imunisasi yang lengkap
dapat memberikan peranan
yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA
(Hidayat,2009).
5) Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian
vitamin A pada
balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan
tubuh dan kesehatan
terutama pada penglihatan,
reproduksi, sekresi mukus dan untuk
mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi.
6) Pemberian ASI
ASI
adalah makanan yang
paling baik untuk
bayi terutama pada
bulan-bulan pertama
kehidupannya. ASI bukan
hanya merupakan sumber
nutrisi bagi bayi tetapi
juga sebagai sumber
zat antimikroorganisme yang
kuat, karena adanya beberapa faktor
yang bekerja secara
sinergis membentuk sistem
biologis. ASI dapat memberikan
imunisasi pasif melalui
penyampaian antibodi dan
sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Hidayat, 2009).
b. Faktor Lingkungan
1) Rumah
Merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya
untuk tempat berlindung yang
dilengkapi dengan fasilitas
dan pelayanan yang
diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk kesehatan jasmani,
rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan
individu . Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki faktor
resiko lebih tinggi
menderita ISPA daripada
anak-anak yang tinggal di rumah
culster di Denmark (Hidayat,2009).
2) Kepadatan Hunian
Seperti
luas ruang per
orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat
diduga merupakan faktor risiko
untuk ISPA. Penelitian
oleh Koch et
al (2003) membuktikan bahwa
kepadatan hunian (crowded)
mempengaruhi secara bermakna
prevalensi ISPA berat.
3) Status sosioekonomi
Telah
diketahui bahwa kepadatan
penduduk dan tingkat
sosioekonomi yang rendah mempunyai
hubungan yang erat
dengan kesehatan masyarakat.
Tetapi status keseluruhan tidak
ada hubungan antara
status ekonomi dengan
insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya
status sosioekonomi (Hidayat, 2009).
4) Kebiasaan merokok
Pada keluarga
yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan
terkena ISPA 2 kali lipat
dibandingkan dengan anak
dari keluarga yang
tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode
ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat, 2009).
5. Klasifikasi ISPA
Banyaknya
mikroorganisme yang menyebabkan
ISPA menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, satu
organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis penyakit serta
adanya satu macam
penyakit yang bisa
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme tersebut
(Heriyana, 2009). Oleh karena itu klasifikasi ISPA didasarkan pada
a. Lokasi anatomis terbagi menjadi Infeksi Pernafasan bagian
atas yang terdiri dari infeksi akut yang
menyerang hidung hingga
pharing. Dan infeksi
pernafasan bagian bawah yang
menyerang pharing hingga alveoli paru –
paru.
b. Derajad
keparahan penyakit.
Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul. Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1) ISPA ringan, ditandai dengan satu atau lebih gejala batuk, pilek dengan
atau tanpa demam.
2) ISPA sedang meliputi gejala ISPA ringan
ditambah satu atau lebih gejala seperti
pernafasan cepat, wheezing, sakit telinga,
keluar secret dari telinga, dan bercak kemerahan.
3) ISPA Berat, meliputi gejala sedang/ringan
ditambah satu atau lebih gejala penarikan sela iga kedalam sewaktu inspirasi,
kesadaran menurun, bibir / kulit pucat kebiruan, dan stridor saat istirahat
serta adanya selaput membran difteri (Heriyana, 2009).
Akut pada saluran nafas terdiri dari Infeksi Akut
Saluran Nafas Atas dan Infeksi Akut Saluran
Nafas Bawah. Yang
termasuk Infeksi Akut
Saluran Nafas Atas
adalah :
a. Nasopharingitis Akut :
gejala meliputi panas, pilek, hidung tersumbat, iritasi pada tenggorokan.
b. Pharingitis Acut
: gejalanya yang
menonjol adalah nyeri
tenggorokan dan sakit menelan yang mungkin didahului oleh
pilek atau gejala influenza lainnya. Nyeri ini kadang sampai ke telinga (otalgia)
karena adanya nyeri alih (referred pain) oleh N
Heperemia pada jaringan
limfoid di dingding belakang
pharing yang kadang disertai folikel
bereksudat menandakan adanya
infeksi sekunder pada
permukaannya mungkin terlihat alur-alur secret mukopurulen.
c. Rhinitis
: Ingus kental
umumnya menunjukkan telah
ada infeksi sekunder
oleh bakteri. Rinitis alergi
maupun rhinitis vasomotor
mudah dibedakan dari
rhinitis infeksi karena ingus
yang putih dan encer
yang hanya keluar
saat serangan saja. Pada
rhinitis atropi ingus
kental diserta krusta
berwarna hijau. Pada
pemeriksaan hidung tampak rongga hidung yang lapang karena konka
mengalami atropi.
d. Laryringitis suara
serak, demam, batuk, iritasi
di tenggorok, tenggorokan teras buntu.
e. Tonsilitis Akut : demam, adanya pembesaran
tonsil, kadang disertai sakit menelan.
f. Otitis Media Akut : demam, penurunan daya
dengar, sakit telinga, cairan ourulen di liang telinga.
6. Tanda dan Gejala ISPA
a. Sistem Respiratori
Adanya tachypnea atau frekuensi
respirasi yang melebihi 20 x/menit pada orang dewasa, napas tidak teratur,
retraksi dinding thorax, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah dan
wheezing.
b. Sistem Cardial
Adanya tachycardia atau frekuensi
jantung lebih cepat 100 x/menit, atau melambat melambat dibawah 60 x/menit pada
orang dewasa, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest atau henti jantung.
c. Sistem cerebral
Gelisah, mudah terangsang, sakit
kepala, bingung, kejang dan bahkan sampai koma.
B. Buruh
Pabrik Rokok
1. Definisi
Pekerja/buruh menurut pengertian dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Buruh rokok adalah semua pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan rokok,
yang merupakan mayoritas buruh di Kudus.
Secara harafiah buruh dapat diartikan sebagai
orang yang bekerja dibawah perintah dari orang lain, dengan kompensasi
seseorang tersebut mendapatkan upah dari hasil bekerjanya. Istilah buruh saat
ini banyak diadaptasi dengan kata-kata yang lain sesuai dengan tempat dan
situasinya. Istilah buruh sama halnya seperti karyawan, pegawai, dan
istilah-istilah lainnya dalam perusahaan. Hanya saja untu istilah buruh lebih
diasosiasikan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar dan berat, kemudian
berpendidikan rendah dan berpenghasilan yang rendah (Ditjen Bina Yanmedik,
2009).
2. Gambaran
Perilaku Buruh Pabrik Rokok
Pekerjaan sebagai buruh
adalah salah satu alternatif yang saat ini banyak dilakukan oleh perempuan
dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah. Selain itu ada alasan lain mengapa
memilih pekerjaan sebagai buruh, yaitu karena pekerjaannya sesuai dengan
keterampilan dan pengalaman misalnya keterampilan untuk melinting, menggunting
atau memasukkan barang kedalam kotak. Serta memperoleh pendapatan yang teratur
dan pasti (Tjandraningsih, 2009).
Wanita yang terlibat dalam pekerjaan sebagai
buruh industri rata – rata masih berusia muda. Berdasarkan survey yang
dilakukan AKATIGA menunjukkan status perkawinan buruh yaitu: 65.2% lajang,
30.4% menikah dan 0.4% janda (Tjandraningsih, 2009).
Menurut Tjandraningsih (2009) tingkat
pendidikan rata-rata buruh adalah 70.1% diatas SMP, namun ada buruh dengan
tingkat pendidikan yang relative rendah bahkan ada yang mengaku tidak mengenal
bangku sekolah. Dari kesimpulan itu bisa ditarik, bahwa tingkat pendidilan
bukan syarat mutlak untuk memasuki dunia pekerjaan sebagai buruh industri. Dari
beberapa uraian tersebut buruh perempuan adalah perempuan yang bekerja di
sektor industri dan secara sosial ekonomi menempati strata sosial ekonomi
bawah.
Buruh wanita mempunyai peranan penting di
keluarga, yakni sebagai pribadi seorang istri dan ibu rumah tangga serta
membantu mencari nafkah bagi keluarganya. Di mana seorang buruh wanita sejak
dulu sudah mendapatkan tempat yang baik. Dengan berkembangnya jaman yang
semakin maju mengakibatkan berubahnya aturan dan nilai yang ada di masyarakat.
Peranan buruh wanita berubah dengan sendirinya, yang semula hanya berperan
sebagai istri dan ibu rumah tangga sekarang perannya menjadi bertambah.
Menurut Sajogyo (2010) bahwa konsep peranan
akan memperjelas hubungan yang terjalin antara pria dan wanita, baik dalam
keluarga, rumah tangga, maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Dewasa ini
pada masyarakat kita terdapat empat golongan wanita, yaiu:
a. Wanita
yang bekerja dan tidak mau membantu rumah tangga atau belum menikah.
b. Wanita yang memberikan pengabdiannya 100%.
c. Wanita yang memberikan prioritas kepada pekerjaan di atas keluarga
d. Wanita
yang memiliki jalan tengah untuk bekerja dan sekaligus menerima peranan rangkap
yakni sebagai ibu rumah tangga dan mencoba kombinasi yang sebaik-baiknya.
Dampak
negatif dari industri rokok adalah timbulnya pencemaran udara oleh debu yang
timbul pada proses pengolahan atau hasil industri tersebut. Debu tembakau,
cengkeh dan bahan pembuat rokok akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga
pekerja industri rokok dapat terpapar debu dari bahan tersebut. Bahan pencemar
tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia khususnya gangguan fungsi
paru (Depkes, 2008). Jenis
penyakit yang paling banyak diderita oleh pekerja pabrik rokok adalah penyakit
saluran pernafasan (ISPA). Penyakit ini diderita oleh sebanyak 48% pekerja
dimana 90% pekerja tersebut adalah kaum wanita. (Persatuan Perusahaan Rokok
Kudus, 2007).
No comments:
Post a Comment