Sunday, June 21, 2015

penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut




  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Tinjauan Umum tentang ISPA
1.       Pengertian ISPA
Istilah ISPA merupakan  singkatan dari Infeksi Saluran  Pernapasan Akut yaitu masuknya  Mikroorganisme  ke dalam tubuh manusia  dan berkembang  biak sehingga  menimbulkan  penyakit.  Saluran  pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari. Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5 – 14 hari (Nurrijal, 2009).
Berdasarkan  pengertian  di  atas,  maka  ISPA  adalah  proses  infeksi  akut berlangsung  selama  14  hari,  yang  disebabkan  oleh  mikroorganisme  dan  menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga  alveoli  (saluran bawah),  termasuk jaringan  adneksanya, seperti sinus,  rongga telinga tengah dan pleura(Nurrijal, 2009).
Program  Pemberantasan  Penyakit  (P2)  ISPA  membagi  penyakit  ISPA  dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat  dan pneumonia  tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis,  pharingitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Pharingitis oleh kuman Streptococcus jarangditemukan pada balita (Depkes, 2008).
2.       Patofisiologi  ISPA
Perjalanan  klinis  penyakit  ISPA  dimulai  dengan  berinteraksinya  virus  dengan tubuh.  Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat  pada  permukaan  saluran  nafas  bergerak  ke  atas  mendorong  virus  ke  arah pharing  atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring.  Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus  pada  kedua  lapisan  tersebut  menyebabkan  timbulnya  batuk  kering.  Kerusakan stuktur  lapisan  dinding  saluran  pernafasan  menyebabkan  kenaikan  aktifitas  kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan  mukosa  yang  melebihi  noramal. Rangsangan  cairan  yang  berlebihan  tersebut menimbulkan gejala batuk (Rech,2009).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat  infeksi  virus  tersebut  terjadi  kerusakan  mekanisme  mukosiliaris  yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasanatas  seperti  streptococcus  pneumonia,  haemophylus  influenza  dan  staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Rech,2009).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas  sehingga timbul sesak  nafas  dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan  dan  malnutrisi.  Suatu  laporan  penelitian  menyebutkan  bahwa  dengan adanya  suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Rech,2009).
Dampak  infeksi  sekunder  bakteripun  bisa  menyerang  saluran  nafas  bawah, sehingga  bakteri-bakteri  yang  biasanya  hanya  ditemukan  dalam  saluran  pernafasan atas,  sesudah  terjadinya  infeksi  virus,  dapat  menginfeksi  paru-paru  sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Rech,2009).
Penanganan  penyakit  saluran  pernafasan  pada  anak  harus  diperhatikan  aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian  besar  terdiri  dari  mukosa,  tidak  sama  dengan  sistem  imun  sistemik  pada umumnya.  Sistem  imun  saluran  nafas  yang  terdiri  dari  folikel  dan  jaringan  limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas  berikutnya adalah bahwa IgA  memegang peranan  pada  saluran nafas atas sedangkan IgG  pada  saluran nafas  bawah.  Diketahui  pula  bahwa  sekretori  IgA  (sIgA)  sangat  berperan  dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Rech,2009).
Dari uraian diatas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a.      Tahap patogenesis,  penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa
b.      Tahap dini penyakit,  dimulai dari munculnya gejala penyakit.  Timbul gejala demam dan batuk
c.      Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan  lapisan mukosa.  Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan  sebelumnya  memang  sudah  rendah
d.      Tahap  dini  penyakit,  dimulai  dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk
e.      Tahap lanjut  penyakit, dibagi  menjadi  empat,  yaitu  dapat  sembuh  sempurna,  sembuh  dengan  ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia (Rech,2009).
3.       Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur  dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh  virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis  yang  berat  sehingga  menimbulkan  beberapa  masalah  dalam penanganannya (Mennegethi,2009).
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus,  Hemofillus,  Bordetella  dan  Corinebacterium.  Virus  penyebab  ISPA antara  lain  adalah  golongan  Miksovirus,  Adenovirus,  Koronavirus,  Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Mennegethi,2009). 
4        Faktor resiko ISPA
Faktor – faktor yang berperan pada kejadian ISPA adalah sebagai berikut :
a.      Faktor host ( diri )
1)      Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun,  terutama  bayi  kurang  dari  1  tahun.  Beberapa  penelitian  menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Hidayat, 2009).
2)      Jenis Kelamin
Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah  ini  tidak  terlalu  diperhatikan,  namun  banyak  penelitian  yang menunjukkan adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.Anak  perempuan  lebih  tinggi  dari  laki    laki  di  negara Denmark (Hidayat,2009).
3)      Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua  keadaan  ini  sinergistik,  saling  mempengaruhi,  yang  satu  merupakan predisposisi  yang  lainnya.  Pada  KKP,  ketahanan  tubuh  menurun  dan  virulensi pathogen  lebih  kuat  sehingga  menyebabkan  keseimbangan  yang  terganggu  dan akan  terjadi  infeksi,  sedangkan  salah  satu  determinan  utama  dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak (Hidayat,2009).
4)      Status imunisasi 
Ketidakpatuhan  imunisasi  berhubungan  dengan  peningkatan  penderita  ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa  imunisasi  yang  lengkap  dapat  memberikan  peranan  yang  cukup  berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Hidayat,2009).
5)      Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian  vitamin  A  pada  balita  sangat berperan untuk  masa pertumbuhannya, daya  tahan  tubuh  dan  kesehatan  terutama  pada  penglihatan,  reproduksi,  sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi.
6)      Pemberian ASI
ASI  adalah  makanan  yang  paling  baik  untuk  bayi  terutama  pada  bulan-bulan pertama  kehidupannya.  ASI  bukan  hanya  merupakan  sumber  nutrisi  bagi  bayi tetapi  juga  sebagai  sumber  zat  antimikroorganisme  yang  kuat,  karena  adanya beberapa  faktor  yang  bekerja  secara  sinergis  membentuk  sistem  biologis.  ASI dapat  memberikan  imunisasi  pasif  melalui  penyampaian  antibodi  dan  sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Hidayat, 2009).
b.      Faktor Lingkungan
1)      Rumah
Merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung yang  dilengkapi  dengan  fasilitas  dan  pelayanan  yang  diperlukan,  perlengkapan yang berguna untuk  kesehatan  jasmani,  rohani dan  keadaan  sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu . Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki  faktor  resiko  lebih  tinggi  menderita  ISPA  daripada  anak-anak  yang tinggal di rumah culster di Denmark (Hidayat,2009).
2)      Kepadatan Hunian
Seperti  luas  ruang  per  orang,  jumlah  anggota  keluarga,  dan  masyarakat  diduga merupakan  faktor  risiko  untuk  ISPA.  Penelitian  oleh  Koch  et  al  (2003) membuktikan  bahwa  kepadatan  hunian  (crowded)  mempengaruhi  secara bermakna prevalensi ISPA berat.
3)      Status sosioekonomi
Telah  diketahui  bahwa  kepadatan  penduduk  dan  tingkat  sosioekonomi  yang rendah  mempunyai  hubungan  yang  erat  dengan  kesehatan  masyarakat.  Tetapi status  keseluruhan  tidak  ada  hubungan  antara  status  ekonomi  dengan  insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna  antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi (Hidayat, 2009).
4)      Kebiasaan merokok
Pada keluarga  yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan terkena  ISPA  2  kali  lipat  dibandingkan  dengan  anak  dari  keluarga  yang  tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat, 2009).
5.       Klasifikasi ISPA
Banyaknya  mikroorganisme  yang  menyebabkan  ISPA  menyulitkan  dalam klasifikasi dari segi kausa, satu organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis penyakit  serta  adanya  satu  macam  penyakit  yang  bisa  disebabkan  oleh  berbagai macam mikroorganisme tersebut (Heriyana, 2009). Oleh karena itu klasifikasi ISPA didasarkan pada
a.      Lokasi anatomis  terbagi menjadi Infeksi Pernafasan bagian atas yang terdiri dari infeksi  akut  yang  menyerang  hidung  hingga  pharing.  Dan  infeksi  pernafasan  bagian bawah yang menyerang  pharing hingga alveoli paru – paru.
b.      Derajad  keparahan  penyakit. 
Pembagian ini dibuat berdasarkan  gejala-gejala klinis yang timbul.  Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1)      ISPA ringan,  ditandai dengan  satu atau lebih gejala batuk, pilek dengan atau tanpa demam.
2)      ISPA sedang meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala  seperti pernafasan cepat, wheezing, sakit telinga,  keluar secret  dari  telinga, dan bercak  kemerahan.
3)      ISPA Berat, meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala penarikan sela iga kedalam sewaktu inspirasi, kesadaran menurun, bibir / kulit pucat kebiruan, dan stridor saat istirahat serta adanya selaput membran difteri (Heriyana, 2009).
Akut pada saluran nafas terdiri dari Infeksi Akut Saluran Nafas Atas dan Infeksi Akut Saluran  Nafas  Bawah.  Yang  termasuk  Infeksi  Akut  Saluran  Nafas  Atas  adalah  :
a.      Nasopharingitis Akut  :   gejala meliputi panas, pilek, hidung tersumbat, iritasi pada tenggorokan.
b.      Pharingitis  Acut  :  gejalanya  yang  menonjol  adalah  nyeri  tenggorokan  dan  sakit menelan yang mungkin didahului oleh pilek atau gejala influenza lainnya. Nyeri ini kadang sampai ke telinga (otalgia) karena adanya nyeri alih (referred pain) oleh N  Heperemia  pada  jaringan  limfoid  di dingding  belakang  pharing  yang  kadang disertai  folikel  bereksudat  menandakan  adanya  infeksi  sekunder pada permukaannya mungkin terlihat alur-alur secret mukopurulen.
c.      Rhinitis  :  Ingus  kental  umumnya  menunjukkan  telah  ada  infeksi  sekunder  oleh bakteri.  Rinitis  alergi  maupun  rhinitis  vasomotor  mudah  dibedakan  dari  rhinitis infeksi  karena  ingus  yang  putih  dan encer  yang  hanya  keluar  saat  serangan  saja. Pada  rhinitis  atropi  ingus  kental  diserta  krusta  berwarna  hijau.  Pada  pemeriksaan hidung tampak rongga hidung yang lapang karena konka mengalami atropi.
d.      Laryringitis  suara  serak,   demam, batuk, iritasi di   tenggorok,   tenggorokan teras buntu.  
e.      Tonsilitis Akut : demam, adanya pembesaran tonsil, kadang disertai sakit menelan.
f.       Otitis Media Akut : demam, penurunan daya dengar, sakit telinga, cairan ourulen di liang telinga.
6.      Tanda dan Gejala ISPA
a.      Sistem Respiratori
         Adanya tachypnea atau frekuensi respirasi yang melebihi 20 x/menit pada orang dewasa, napas tidak teratur, retraksi dinding thorax, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah dan wheezing.
b.      Sistem Cardial
         Adanya tachycardia atau frekuensi jantung lebih cepat 100 x/menit, atau melambat melambat dibawah 60 x/menit pada orang dewasa, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest atau henti jantung.
c.      Sistem cerebral
         Gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan bahkan sampai koma.

B.      Buruh Pabrik Rokok
1.       Definisi
Pekerja/buruh menurut pengertian dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Buruh rokok adalah semua pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan rokok, yang merupakan mayoritas buruh di Kudus.
Secara harafiah buruh dapat diartikan sebagai orang yang bekerja dibawah perintah dari orang lain, dengan kompensasi seseorang tersebut mendapatkan upah dari hasil bekerjanya. Istilah buruh saat ini banyak diadaptasi dengan kata-kata yang lain sesuai dengan tempat dan situasinya. Istilah buruh sama halnya seperti karyawan, pegawai, dan istilah-istilah lainnya dalam perusahaan. Hanya saja untu istilah buruh lebih diasosiasikan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar dan berat, kemudian berpendidikan rendah dan berpenghasilan yang rendah (Ditjen Bina Yanmedik, 2009).
2.       Gambaran Perilaku Buruh Pabrik Rokok
Pekerjaan sebagai buruh adalah salah satu alternatif yang saat ini banyak dilakukan oleh perempuan dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah. Selain itu ada alasan lain mengapa memilih pekerjaan sebagai buruh, yaitu karena pekerjaannya sesuai dengan keterampilan dan pengalaman misalnya keterampilan untuk melinting, menggunting atau memasukkan barang kedalam kotak. Serta memperoleh pendapatan yang teratur dan pasti (Tjandraningsih, 2009).
Wanita yang terlibat dalam pekerjaan sebagai buruh industri rata – rata masih berusia muda. Berdasarkan survey yang dilakukan AKATIGA menunjukkan status perkawinan buruh yaitu: 65.2% lajang, 30.4% menikah dan 0.4% janda (Tjandraningsih, 2009).
Menurut Tjandraningsih (2009) tingkat pendidikan rata-rata buruh adalah 70.1% diatas SMP, namun ada buruh dengan tingkat pendidikan yang relative rendah bahkan ada yang mengaku tidak mengenal bangku sekolah. Dari kesimpulan itu bisa ditarik, bahwa tingkat pendidilan bukan syarat mutlak untuk memasuki dunia pekerjaan sebagai buruh industri. Dari beberapa uraian tersebut buruh perempuan adalah perempuan yang bekerja di sektor industri dan secara sosial ekonomi menempati strata sosial ekonomi bawah.
Buruh wanita mempunyai peranan penting di keluarga, yakni sebagai pribadi seorang istri dan ibu rumah tangga serta membantu mencari nafkah bagi keluarganya. Di mana seorang buruh wanita sejak dulu sudah mendapatkan tempat yang baik. Dengan berkembangnya jaman yang semakin maju mengakibatkan berubahnya aturan dan nilai yang ada di masyarakat. Peranan buruh wanita berubah dengan sendirinya, yang semula hanya berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga sekarang perannya menjadi bertambah.
Menurut Sajogyo (2010) bahwa konsep peranan akan memperjelas hubungan yang terjalin antara pria dan wanita, baik dalam keluarga, rumah tangga, maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Dewasa ini pada masyarakat kita terdapat empat golongan wanita, yaiu:
a.      Wanita yang bekerja dan tidak mau membantu rumah tangga atau belum menikah.
b.      Wanita yang memberikan pengabdiannya 100%.
c.      Wanita yang memberikan prioritas kepada pekerjaan di atas keluarga
d.      Wanita yang memiliki jalan tengah untuk bekerja dan sekaligus menerima peranan rangkap yakni sebagai ibu rumah tangga dan mencoba kombinasi yang sebaik-baiknya.
Dampak negatif dari industri rokok adalah timbulnya pencemaran udara oleh debu yang timbul pada proses pengolahan atau hasil industri tersebut. Debu tembakau, cengkeh dan bahan pembuat rokok akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga pekerja industri rokok dapat terpapar debu dari bahan tersebut. Bahan pencemar tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia khususnya gangguan fungsi paru (Depkes, 2008). Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh pekerja pabrik rokok adalah penyakit saluran pernafasan (ISPA). Penyakit ini diderita oleh sebanyak 48% pekerja dimana 90% pekerja tersebut adalah kaum wanita. (Persatuan Perusahaan Rokok Kudus, 2007).

No comments:

Post a Comment